Senja di Tengah Pandemi Covid-19
DUNIA MELIHATKU - Bumi menghijau. Pandemi Covid-19 menjadi pesta para hewan dan tumbuhan. Pandemi Covid-19 juga menjadi ruang kebebasan kita meski harus terjadi karantina masal. Siapa sangka, ada senja cantik di tengah Pandemi Covid-19.
Senja memang cantik, tapi aku tak pernah benar-benar menyukai senja. Sesekali aku hanya dimabuk kecantikannya yang begitu semu. Kehadiran Senja tak pernah benar-benar nyata. Sama halnya seperti kamu. Bagiku, kamu hanya keindahan yang memberi setetes kebahagiaan dan akan menjadi kering seiring berjalannya waktu. Kamu adalah Senja itu sendiri.
Ada sekelumit rindu saat kamu tiba-tiba menyapa setelah melewati dua musim tanpamu. Bahkan aku telah menyimpanmu rapat-rapat dalam pojok folder memoriku. Ku anggap kamu hanya senja--yang hanya memberikan setetes kebahagiaan lalu mengering di malam hari.
Ada sedikit ragu, perlukah aku menjawab sapaan kecilmu di ponsel pintarku? Masih jelas dalam ingatanku, pada pertemuan terakhir kita, aku menghujanimu dengan begitu banyak kata yang bermakna "pergi dan tak perlu kembali, kamu hanya ditakdirkan untuk dia." Siapa aku membuat takdirmu? Tuhan mungkin menertawakanku. Tapi, aku masa bodoh.
Perkuliahanmu menjadi kuliah daring. Pacarmu pun pulang kampung, ia berada di kota lain untuk kuliah daring juga. Aku tak pernah menyangka kalian seolah menjadi jauh karena Covid-19. Sementara itu, pekerjaanku tak lagi benar-benar menyibukkanku.
Keadaan pandemi ini menjadi kesempatanmu untuk kembali mendekatiku. Sekali ini saja. Aku membiarkan kata hatiku yang memilih. Aku tak lagi menahan diri seperti di masa lalu. Aku tak lagi membatasi diri. Aku biarkan diriku menjadi aku. Aku biarkan dirimu melihatku yang sebenarnya.
![]() |
Meski hanya sesaat, aku biarkan kamu merengkuhku karena Covid-19 mempertemukan kita. Gambar: Pixabay |
Senja memang cantik, tapi aku tak pernah benar-benar menyukai senja. Sesekali aku hanya dimabuk kecantikannya yang begitu semu. Kehadiran Senja tak pernah benar-benar nyata. Sama halnya seperti kamu. Bagiku, kamu hanya keindahan yang memberi setetes kebahagiaan dan akan menjadi kering seiring berjalannya waktu. Kamu adalah Senja itu sendiri.
Ada sekelumit rindu saat kamu tiba-tiba menyapa setelah melewati dua musim tanpamu. Bahkan aku telah menyimpanmu rapat-rapat dalam pojok folder memoriku. Ku anggap kamu hanya senja--yang hanya memberikan setetes kebahagiaan lalu mengering di malam hari.
Ada sedikit ragu, perlukah aku menjawab sapaan kecilmu di ponsel pintarku? Masih jelas dalam ingatanku, pada pertemuan terakhir kita, aku menghujanimu dengan begitu banyak kata yang bermakna "pergi dan tak perlu kembali, kamu hanya ditakdirkan untuk dia." Siapa aku membuat takdirmu? Tuhan mungkin menertawakanku. Tapi, aku masa bodoh.
Kini aku bertanya-tanya, bolehkah aku menyukai senja?
Perkuliahanmu menjadi kuliah daring. Pacarmu pun pulang kampung, ia berada di kota lain untuk kuliah daring juga. Aku tak pernah menyangka kalian seolah menjadi jauh karena Covid-19. Sementara itu, pekerjaanku tak lagi benar-benar menyibukkanku.
Keadaan pandemi ini menjadi kesempatanmu untuk kembali mendekatiku. Sekali ini saja. Aku membiarkan kata hatiku yang memilih. Aku tak lagi menahan diri seperti di masa lalu. Aku tak lagi membatasi diri. Aku biarkan diriku menjadi aku. Aku biarkan dirimu melihatku yang sebenarnya.
Baca juga:
- Kenapa Umur Menjadi Sebuah Masalah dalam Cinta?
- Dia Positif Corona, Malah Bikin Tim Medis Diisolasi
- Himbauan Jarak, Tak Lantas Aku Melupakannya
Pertemuan demi pertemuan kita, membuatku semakin tahu mengapa aku menjadi begitu dimabuk keindahan senja. Aku membebaskanmu memelukku begitu erat. Aku bahkan dengan berani menyandarkan kepalaku pada pundakmu. Sepertinya hatiku menggiringku untuk berdoa, semoga Covid-19 tak segera usai, namun negara tetap dapat mengenyangkan seluruh penduduknya. Kali ini, Tuhan mungkin mencemoohku. Tapi, aku tak peduli.
Senja, aku tak sekuat siang dan tak setangguh malam. Aku tak sehebat sunyi.
Aku tahu. Sangat tahu. Kamu akan pergi setelah Covid-19 berakhir. Kamu akan kembali kepadanya. Sangat jelas sekali.
Meski aku tahu ini hanya sesaat. Namun, aku berhak merasakannya. Berkali-kali aku menguatkan diriku setiap kali aku menunggu kedatanganmu dalam cemas. Cemas Covid-19 tiba-tiba dinyatakan usai. Aku masih ingin berlama-lama denganmu. Aku tak lagi peduli dengan perbedaan usia kita, kamu sudah jauh lebih dewasa. Kukira. Ah, betapa beruntungnya pacarmu.
Netizen mungkin menganggapku bodoh. Mereka bisa jadi menghujatku. Namun, siapa mereka berhak mengatur hidupku? Aku sudah jauh lebih tahu bahwa yang nantinya akan sakit adalah aku. Namun, kali ini aku yakin bahwa kamu juga akan merasakan hal yang sama. Kalaupun tidak, aku yakin kamu juga akan merindukanku.
Selain menjaga imunitas tubuh di tengah Covid-19. Aku juga sibuk menyiapkan diri atas perasaan kehilangan setelah Covid-19 berakhir. Jika suatu hari kamu telah pergi, percayalah aku tengah menangisi kepergianmu.
Aku akan berdiam diri begitu lama untuk berduka cita atas kepergianmu. Aku akan menganggap bahwa aku tak akan bertemu denganmu lagi, di masa depan. Aku harap kamu turut berbelasungkawa atas perasaan kehilanganku. Setidaknya, masing-masing dari kita tahu bahwa cinta tak terbatas.
Terlepas dari persiapan atas perasaan kehilangan di masa depan. Setidaknya, rengkuh aku ke dalam pelukan hangatmu. Lupakan pacarmu sementara waktu.
Tak lupa, aku ucapkan terima kasih kepada Covid-19 dengan lirih. Ia menghijaukan bumi, menjadikan ruang pesta bagi hewan dan tumbuhan. Ia juga yang membuat kita saling merengkuh, membebaskan diri, dan mencurahkan perasaan rindu masing-masing.
Kapanpun kamu mau, kamu akan menghilang dari hidupku. Siap tak siap, aku akan kehilanganmu. Aku akan berduka cita atas rasa ini hingga aku kembali menguncimu rapat dalam pojok memori, Senjaku. Mau tak mau, kamu harus turut berbelasungkawa atas perginya kebahagiaan semu kita.
Begitulah senjaku di tengah Covid-19. Ia menjadi senja yang indah, memancara cahaya jingga dengan bebas nan elok. Berdiri kokoh di antara genting-genting rumah perkotaan yang sepi. Dan aku menjadi sepi yang dipeluknya.
Mungkin di dunia ini, hanya aku yang berharap Covid-19 tak segera usai, namun negara tetap dapat mengenyangkan seluruh penduduknya?
21 Comments
aku harap ini fiksi.
ReplyDeleteimajinasi di kala pandemi.
Semoga harapanmu nyata. Aamiin...
DeleteKarena literally, nggak ada yang mau berada di musim pandemi.
Covid bisa saja segera berakhir, namun tak begitu dengan rindu, yang akan selalu terukir dalam bayang-bayang semu.. #eaa :D
ReplyDeleteCovid pasti berakhir, tapi rindu ini nggaka kan berakhir. #eeaa... malah aku tambahin ya? :D
DeleteMungkinkah aku itu adalah hewan yang tidak ingin covid 19 berakhir?
ReplyDeleteKarena sejak ada Corona hewan hewan bisa sedikit bebas berkeliaran.
Tapi sepertinya bukan ya, ntahlah.😊
Hahaha.... aku ngakak maksimal jadinya... Hayoo... apakah kamu hewan Kak? Ngaku deh? Eh, tapi kayaknya nggak deh... :D
DeleteRangkaian katanya mantap sekali
ReplyDeleterunut dan mudah dicerna
Beda dengan artikel saya yang sangat bulet tidak jelas tema atau intinya :D
Setiap blogger punya ciri khas masing-masing kok Kak, santai aja. Hehe...
DeleteAku suka artikelnya Kakak juga.
Foto pertama itu sempat bikin salfok, loh ....
ReplyDeleteDalam hati mbatin, kok tumben kak Einid berani berfoto adegan kayak gitu .... Wwwkkkk 😂.
Eh, ternyata modelnya bukan kak Einid 😄
Ini berdasarkan kisah nyata ya, kak ?.
Mohon maaf sebelumnya Kak kalau fotonya mengecewakan. Haha...
DeleteIya jelas nid mana berani foto adegan kayak gitu.
Hmm... Maybe ada yang mengalami saking gabutnya. Ups...
senja di sore covid ini
ReplyDeleteHahaha... Senja di Tengah Pandemi Covid-19 jadilah Senja di Sore Covid ini.
Deletekasian yang LDR beda pulau dan lebih kasian lagu yang belum punya pasangan alias masih jomblo wkwkwk...
ReplyDeletemari berteman yuk di tunggu follow back nya :)
Iya Kak, kasihan yang LDR. Hufh...
DeleteSudah nid follow back ya.
kata-kata terangkai menjadi kalimat, paragraf dan satu-kesatuan cerita yang cantik dan puitis.. apakah ini memang betul-betul fiksi atau memang sebenarnya hatimu lah yang sedang berbunga-bunga di tengah pandemi? :D
ReplyDelete-traveler paruh waktu
Kata-kata terangkai menjadi kalimat, kalimat terangkai menjadi sebuah paragraf dalam sebuah komentari dari Traveler Paruh Waktu.
DeleteAh, aku nggak menjawab Kak, biarkan jadi misteri. Hehe...
Pandemi ini merupakan saat-saat yang sulit. Banyak orang yang gak suka saat-saat ini. Tapi di balik itu semua, sangat memungkinkan ada yang diuntungkan dengan adanya pandemi. Bumi, hewan, tumbuhan, hati yang terluka, dan hati yang berjauhan.
ReplyDeleteHati yang terluka sedikit demi sedikit akan sembuh karena saat pandemi dia tidak bertemu dengan orang yang melukai. Oh, mungkin bertemu melalui sosial media. Tapi setidaknya tidak bertemu langsung dengan yang bersangkutan.
Sedangkan hati yang sedang berjauhan akan semakin dekat dengan adanya pandemi. Dengan pandemi, rutinitas menjadi lebih ringkas, waktu menjadi lebih luang. Waktu yang luang membuat dua hati yang saling jauh menjadi lebih dekat kembali.
Terimakasih, Mbak Einid, sudah memberi sudut pandang lain dari adanya pandemi. Selama ini yang aku temui hanya pandemi dari sudut pandang yang tidak mengenakkan saja. Tak peduli bahwa sesungguhnya pandemi juga ada hikmahnya bagi sebagian orang. Oh ya, semoga ini hanya fiksi ya, Mbak. Karena ceritanya agak miris. Semoga tokoh utamanya segera mendapat ganti yang lebih baik dari senja setelah pandemi berakhir. ðŸ˜
Semoga Pandemi Covid-19 membuat kita semua mendapatkan ruang untuk saling memperbaiki hati dan perasaan masing-masing karena Covid-19 sebenarnya memberi kita waktu luang lebih banyak dari biasanya.
DeleteSemangat ya Kak Roem!
Terima kasih kembali sudah menyempatkan membaca kisah ini.
Segala peristiwa berjalan dan kemudian berlalu bersama segala yang dibawa dan ditinggalkan...
ReplyDeleteBadai akan berlalu.
Setuju, badai pasti akan berlalu. Semangat ya Kak!
Deletetidak selamanya senja... mentari bahagia akan muncul jua... bila tiba saatnya...
ReplyDeleteBerjejaklah ketika berpetualang di sini.
TERIMA KASIH sudah membacaku dan telah berjejak di kolom ini.