Ia dan Duniaku Menjadi Sunyi
DUNIA MELIHATKU - Dunia, sejak saat ia berani mengetuk pintu rumahku di kala aku tengah berjuang dengan rasa sakitku. Aku perlahan meruntuhkan tebing yang telah aku bangun kuat-kuat selama ini, pun Bundaku. Kami mulai percaya ada hal indah yang menanti kami.
Namun, aku tak bisa mendengar ketukan pintunya... Pertanda apakah ini? Apakah Tuhan menginginkan dia memilih pulang, kembali kepada kedua orang tuanya tanpa mengingatku lagi. Tapi, ia tetap melangkah masuk, memberi senyum yang pada akhirnya terbiasa aku lihat.
Aku menatapnya, berharap dapat membaca gerak bibirnya agar aku mengerti apa yang sedang ia katakan. Tetapi, aku tidak bisa karena aku tidak pernah belajar membaca gerak bibir seseorang yang berbicara denganku.
Dunia, aku harus bagaimana? Aku terus menatapnya dan ia seperti menunggu jawabanku.
Dan seolah menyadari bahwa aku berbeda.
Ia mengulangi kalimatnya dengan lebih perlahan dan entah dengan suara pelan atau keras.
Kemudian aku mencari apa yang ia butuhkan.
Dunia, aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku berharap, ia tak kembali. Aku berharap kami tidak pernah bertemu jika begini jadinya.
Aku berharap hanya tetap mendengar suaranya melalui sambungan handphone. Hanya dengan penyuara di telinga atau handphone di telinga, aku dapat mendengar suaranya dengan jelas dan kami bisa tertawa bersama.
Aku hanya ingin tertawa untuk hal-hal lucu, mengenang masa lalu, hingga membayangkan masa depan yang mungkin tidak terjadi.
Namun, kami terlanjur bertemu dan dia mengetahui kekuranganku yang tiba-tiba.
Tiba-tiba sunyi. Aku menjadi begitu sedih tak bisa menanggapi ceritanya dengan pandai seperti di telepon.
Aku melihat ia sibuk dengan menyetrika jaketnya yang basah. Aku tahu ia terguyur hujan deras karena memaksa untuk bertemu denganku, begitu juga temannya.
Aku sungguh berterima kasih karena dia begitu rela untuk menemuiku yang rapuh, rapuh karena diriku sendiri.
Dia kembali mengajakku mengobrol, aku ingat benar ia memastikan perihal aku bisa atau tidak menyetrika.
Aku bisa tapi tidak lihai dan tidak tertarik menyetrika. Ujarku begitu aku bisa memahami kalimatnya.
Begitulah kenanganku tentangnya saat duniaku tiba-tiba menjadi sunyi.
Dan aku tidak ingin menghancurkan perasaanku, sehingga aku memilih untuk tidak terlalu dekat dengan dia. Aku terlalu takut untuk kembali merasakan ditinggalkan dalam keadaan rapuh.
Biarlah aku rapuh dengan duniaku yang sunyi.
Aku tidak ingin terjebak dalam harapan yang mungkin tidak akan menjadi milikku.
Lantas, apakah ia memilih untuk berhenti?
0 Comments
Berjejaklah ketika berpetualang di sini.
TERIMA KASIH sudah membacaku dan telah berjejak di kolom ini.