BERHENTI MENCARI CINTA: BUKAN KARENA TELAH MENEMUKANNYA
Seandainya ada yang datang dan aku membukakan pintu hatiku.
(I'll ask)
"Maukah kamu masuk tanpa pernah pergi (lagi)?"
....
Mencintai tak sesederhana bayangan indah kita, pun demikian dicintai. Namun, bukan berarti mencintai maupun dicintai sesulit itu. Hanya saja, cinta itu sesuatu yang rumit. Ia melibatkan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
![]() |
Semuanya telah usai. Gambar: Pixabay |
Aku “harus”: tetap bahagia
Sesederhana itu yang aku katakan untuk diriku sendiri dan aku menempelkannya tepat di hatiku. Tidak terlalu berlebihan bukan? Ya, karena hatiku membutuhkan asupan vitamin setiap hari dan itulah vitaminku.
Saat aku melihat diriku sendiri. Aku menyadari bahwa selain ada aku yang semakin berumur, orang-orang tersayang yang ada di sekitarku pun sama. Tanpa harus melihat KTP mereka--aku tahu, kulit dan rambut mereka mulai kusut seperti uang kertas yang telah berpetualang dari tangan ke tangan.
Maka, aku percaya waktu tidak (akan) pernah berhenti. Bukankah kamu juga menua? Dari sinilah, aku menyadari bahwa aku seharusnya telah menemukan cinta dari beberapa waktu yang lalu atau saat ini.
Dan, apakah aku telah menemukan cinta? Tidak! Tepatnya belum.
Aku berhenti mencari cinta, bukan karena aku telah menemukannya. Aku berhenti karena aku telah lelah mencari. Jika, manusia memiliki titik sabarnya, titik jenuhnya, bahkan titik lelahnya. Saat inilah aku mengalami semua itu. Aku telah berada di titik-titik tersebut.
Namun, aku tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menjelaskan keadaanku kepada orang-orang yang aku sayangi juga kepada mereka yang memburuku--seolah cinta adalah segalanya. Semakin aku menua, semakin aku takut mengecewakan orang-orang yang aku sayangi. Aku juga takut membuat mereka mengalami perisakan dari lingkungan sekitar.
Bagaimana denganku, bukankah aku juga akan mengalami perisakan juga? Tentu saja aku mengalaminya dan bahkan sudah dari lalu-lalu aku mengalaminya. Hanya saja, mungkin orang-orang tidak menyadarinya karena aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Hey, congratulations ya!”
“Thanks. Kamu kapan nyusul? Segera nikah, jangan berkarir terus.”
“Iya nih, keburu tua.”
“Calonnya mana, kok nggak dibawa?”
Aku tersenyum dan menjawab dengan aneka ragam alasan. Padahal, kamu tahu? Saat orang-orang melakukannya, mereka sedang menghunuskan pedang ke hatiku. Jangan begitu caramu peduli padaku! Kenapa kamu enggak membantu mencarikanku cinta? Bulshit tentang mendoakanmu bahagia, jika kamu pada akhirnya mulai menikmati betapa utuhnya kebahagiaanmu dengan membagikannya di media sosial. Mulai dari menikmati bulan madu, kehamilan, memiliki bayi, dan sampai bayi-bayimu mulai pintar berhitung atau membaca.
Tidakkah kamu tahu, di antara kebahagiaanmu yang kamu umbar-umbar, masih ada segelintir orang-orang yang teriris-iris hatinya ketika melihatnya. Persetan dengan tombol like atau love.
Toh, kamu hanya melupakan segelintir kami yang masih belum menemukan cinta. Hanya orang-orang dari golongan kamilah yang mengerti keadaan kami sendiri. Maka, kami tak pernah mencoba-coba menghunuskan pedang di antara kami. Karena kami tahu? Itu sama halnya mencoba melukai diri sendiri.
Alangkah lebih baiknya, saling berbagi luka. Karena kami tahu, sesama kami tidak bisa saling mengobati luka kami. Andaipun bisa saling mengobati luka, tentu hanya beberapa di antara kami yang berakhir menikah bersama. Aku berhenti mencari cinta, namun aku akan menerima--jika ada yang ingin mengobati lukaku, dan aku akan mengobatinya lukanya juga.
Meski ada segelintir dari kami, kami enggak benar-benar bisa bilang bahwa kami bisa mendukung satu sama lain. Ada kalanya, masing-masing dari hati kami ada perasaan ketakutan-ketakutan bahwa golongan kami akan semakin sedikit dan sedikit, dan berakhir dengan hanya ada aku yang tertinggal.
Bagaimana jika demikian adanya? Aku harap tidak, bukan aku. Jangan aku yang tertinggal! Tepatnya, jangan sampai ada yang tertinggal.
Saat ini…
Aku berhenti, bukan karena aku telah menemukannya.
Aku tak lagi berjalan mencari cinta, untuk apa jika pada akhirnya aku tersakiti lagi dan lagi? Hanya akan menambah luka saja.
Pagi itu di Kota Malang,
19 Maret 2018
Terbit juga di Tumblr: einidshandy
10 Comments
Kadang mencintai seseorang adalah dengan membiarkan dia pergi dari hidupmu.
ReplyDeleteIya... Kadang kita perlu melakukan hal ini. :)
DeleteDuhhh dalemm yaa kalau nulis tentang cinta... Keren 👍
ReplyDeleteTerima kasih Kakak. Salam.
DeleteHanya orang-orang dari golongan kamilah yang mengerti keadaan kami sendiri.
ReplyDeletei know thats feel, bruh
sekitar cuma bisa memberondong dengan pertanyaan. tanpa sadar, pertanyaan itu jadi peluru yang kerap menembus tubuh
:(
Iya, pertanyaan yang kerap menjadi peluru. :(
DeleteSedih.
kadang, cinta akan mendekat dengan sendirinya saat kita merelakannya pergi.
ReplyDeleteDan cinta dengan luka rasanya sudah sepaket, sulit dipisahkan.
Saya rasa memang demikian adanya, bagaimana kita bisa merasakan indahnya cinta, kalau kita gak pernah tau sakitnya luka hati.
Yang harus kita lakukan adalah tegar saat luka itu datang, mampu bangkit dari keterpurukan dan tidak pernah menyerah atas nama cinta, eaaaaaaa....
Jadi puitis gegara baper hahahaha
Iya Kak, wah puitis banget dan baper banget.
DeleteMakasih Kak.
Cinta akan datangnya tanpa pernah kita duga.
ReplyDeleteItulah misteri cinta ...
Ada yang cepat menemukan jodohnya, tapi ada juga yang lambat.
Bahkan ada pula yang digariskan memang hidup sendiri.
Dibuat bahagia saja pikiran dan hati,kak ...
Ah, aku lebih baik mendapatkan jodoh yang agak lambat dari pada harus digariskan hidup sendiri, enggak enak kayaknya, karena aku harus mendengarkan perundungan dari orang-orang sekitar.
DeletePadahal seharusnya mereka bisa membantuku menemukan jodoh.
Jadi curhat eh.
Berjejaklah ketika berpetualang di sini.
TERIMA KASIH sudah membacaku dan telah berjejak di kolom ini.